Kini ini, kekuasaan dan kewenangan – dari perspektif hak-hak asasi manusia
(yang telah menjadi unsur penting dalam setiap hukum konstitusi – hanya akan
memperoleh dasar legitimasinya manakala diefektifkan untuk menjamin terwujudnya
hak rakyat untuk memperoleh freedom from want. Tak pelak lagi, state parties akan
terus diseru untuk mendukung beban kewajiban yang asasi untuk menjamin hak-hak
rakyat jelata untuk memperoleh kesejahteraan lewat upaya-upaya bersama yang
disebut ‘pembangunan’. Dalam konsep ini, pembangunan bukan lagi sebatas
definisinya sebagai program -- apalagi sebagai ideologi -- pemerintah, melainkan
sebagai bagian dari kegiatan nasional yang demokratik untuk memperjuangkan
terwujudnya freedom from wants itu. Pembangunan bukan lagi program-program
yang menjadi bagian dari siasat pejabat-pejabat elit pemerintah untuk bertahan pada
posisinya yang terkini lewat suatu proses trade-off (yang hendak mengorbankan
sesuatu dalam porsi sedikit, untuk difungsikan sebagai umpan yang dilemparkan
kepada mereka yang miskin, demi terpertahankannya dan bahkan demi diperolehnya
hasil yang lebih banyak).
Adalah sesungguhnya pembangunan itu berhakikat sebagai hak. Ialah hak
warga untuk ikut berbicara dalam rangka mendefinisikan arah dan kepentingan
pembangunan, dan kemudian daripada itu juga berhak atas hasil-hasil yang diperoleh
dari proses pembangunan itu. Selama ini banyak sekali kebijakan dan tindakan para
elit, khususnya yang duduk dalam jabatan-jabatan pemerintahan, yang mencoba
memonopoli kebenaran dan memonopoli akses ke lokus-lokus tempat penyusunan
kebijakan pembangunan (yang ternyata tidak atau kurang pro the people).
Apabila dalam pembangunan ini, misalnya, sejak awal kebijakan yang
ditempuh adalah kebijakan negara untuk menguasai ‘bumi, air dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya’, yang berkonsekuensi pada ternasionalisasinya hak-hak lokal
(yang dulu disebut hak-hak adat, khususnya yang berobjekkan tanah dan sumber-
sumber agraria yang lain), maka nyata bahwa di sini tidak adalah kebijakan yang pro
the (local) people (in the periphery) itu.
Dengan kebijakan seperti itu, besar kemungkinan bahwa akses rakyat dalam
masyarakat-masyarakat hukum adat untuk ikut mengelola kekayaan sumber agraria di
lingkungannya akan menjadi tertutup. Pembangunan yang diprogramkan pun tak
akan mungkin merupakan pembangunan yang partisipatif, yang mengakui hak-hak
rakyat atas perannya dalam pembangunan berikut hasil-hasilnya.
Memang benar bunyi argumen yang menyatakan bahwa dalam rangka
merealisasi hak-hak asasi manusia untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi, sosial
dan kultural itu pemerintah diharamkan untuk bertindak non-intervensi (seperti halnya
dalam perkara-perkara menghormati hak-hak asasi manusia warga negara di bidang
aktivitas politik. Dalam rangka merealisasi hak-hak ekonomi, sosial dan kultural,
pemerintah memang justru harus bertindak aktif, turun tangan untuk ‘melakukan
sesuatu’.
Akan tetapi, dalam persoalan ini, yang dimaksudkan dengan bertindak aktif itu
tak sekali-kali boleh diartikan sebagai peniadaan hak rakyat untuk, berbekalkan modal
kekayaan alam dan modal sosial-kulturalnya, membangun diri dan masyarakatnya
sendiri. The right to/of (self-)development sebagai bagian dari the right to/of self-
determination yang bernilai asasi itu tetap harus dihormati, dan tak sekali-kali boleh
berarah ke terjadinya pengingkaran atas prinsip yang menyatakan bahwa hak-hak
asasi manusia itu sesungguhnya inalienable.
Betapapun banyaknya tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh pemerintah dan
state parties lainnya untuk tidak ber-hands-off -- melainkan bertindak secara nyata
guna melaksanakan hak-hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial dan budaya --
tidaklah itu, dengan alasan apapun, membenarkan kebijakan untuk mengingkari hak-
hak manusia di bidang yang lain, ialah hak-hak yang asasi di bidang kebebasan sipil
dan yang berkenaan dengan hak-hak politik. Proses-proses pembangunan guna
mengimplementasi hak-hak ekonomi warganegara dan penduduk negeri itu pada
hakikatnya adalah juga proses-proses politik. Bagaimana bisa dikatakan bukan suatu
proses politik manakala seluruh program pembangunan itu direncanakan berdasarkan
tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan yang sesungguhnya diputuskan lewat proses-
proses politik.
Maka, tak pelak lagi, proses-proses pembangunan yang berhakikat sebagai
proses politik seperti itu tidaklah sekali-kali boleh dibenarkan sebagai proses yang
harus dimonopoli para politisi dan para pejabat pemerintah yang elit dan telah mapan.
Alih-alih demikian, semua proses dan program pembangunan mestilah dilaksanakan
dengan menyertakan seluruh warganegara yang menyadari partisipasi dan kontrolnya
pada jalannya pembangunan sebagai hak-haknya yang asasinya. Implementasi hak-
hak ekonomi yang asasi itu tidaklah sekali-kali boleh memberikan dasar pembenar
kepada para pembesar negara untuk mengingkari hak-hak sipil dan hak-hak politik
David Korten menyebutkan tiga paradigma politik pembangunan: Paradigma pertumbuhan yang
mementingkan industrialisasi, paradigma kesejahteraan yang mementingkan pemberian layanan dan
amalan, dan paradigma kerakyatan yang mementingkan human dsevelopment (yang harus
diterjemahkan ‘pengembangan manusia’, dan bukan ‘pembangunan atau pembinaan manusia’).
Paradigma kerakyatan adalah paradigma yang berselaras dengan paham yang mengakui pentingnya
hak-hak asasi dalam setiap proses pembangunan. Paradima kerakyatan memposisikan modal sosial dan
komitmen warga sebagai sumberdaya utama dalam pembangunan, dam bukan modal finansial atau
anggaran belanja negara yang didalilkan oleh paradigma pertumbuhan dan paradigma kesejahteraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar